MENGGAGAS PARADIGMA TAFSIR EKOLOGI
Written By Muhammad Mufid on Wednesday,
July 25, 2012 | 12:48 PM
Dr. Abdul Mustaqim.
(Dosen dan Direktur Pusat Studi al-Qur’an dan
Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Persoalan
ekologi merupakan salah satu isu aktual dari kelima isu aktual dewasa ini,
yaitu globalisasi, demokrasi, HAM dan gender dan ekologi. Bahkan isu
tentang ekologi
tersebut
diproyeksikan akan tetap selalu aktual pada abad 21 ini. Terlebih ketika
masyarakat modern dewasa ini telah mengalami krisis ekologi yang luar biasa.
Berbagai bencana muncul silih berganti menimpa mereka, akibat kerusakan ekologi
yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia dengan mengeksploitasi alam
sedemikian rupa, tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keseimbangan alam
(Q.S. al-Rûm [30]: 41).
Penggunaan
rumah-rumah kaca, penggundulan hutan (baca: illegal logging),
penambangan liar, dan sederet eksploitasi alam lainnya adalah
bukti bahwa manusia ikut berkontribusi pada kerusakan alam, maka kemudian
muncullah apa yang disebut perubahan iklim (climate change atau taghayyur
al-thaqs), banjir, tanah longsor, dan global warming serta
kerusakan ekosistem lainnya. sehingga dalam teori etika lingkungan timbul
pertanyaan kritis, apakah “Pembangunan Berkelanjutan atau Keberlanjutan
Ekologi?”.
Hal itu
mestinya menjadi bahan evaluasi, inspirasi dan sekaligus motovasi bagi
pengkaji al-Qur’an (baca: para mufasir) untuk segera merumuskan sebuah
produk tafsir yang memiliki perspektif ekologis demi keberlanjutan
ekologi. Hal ini mengingat bahwa perilaku masyarakat (mode of conduct)
tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought). Sementara
pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks keagamaan,
kemudian menjadi sistem teologi yang mereka yakini. Karena itu, dari posisi
teologi yang mesti dilihat adalah mana dari tindakan manusia itu yang
menimbulkan pelanggaran atas harmoni alam.
Sayangnya,
tafsir-tafsir klasik dan abad pertengahan agaknya memang tidak menjelaskan
secara rinci dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola
dan melakukan pola relasi dengan alam ini, agar misi kekhalifahan manusia di
muka bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal itu bisa dimengerti, sebab boleh
jadi problem ekologis ketika itu memang tidak separah sekarang ini.
Demikian halnya ketika penulis membaca beberapa kitab tafsir modern, seperti al-Manâr,
al-Marâghî dan al-Qâsimî dan al-Tahrir
wa al-Tanwîr juga tidak memperoleh uraian yang memadai
tentang persoalan ekologis. Ini artinya bahwa tafsir sesungguhnya
merupakan produk dari anak zamannya, yang kadang-kadang tidak lagi
kompatibel dengan tuntutan era sekarang, sehingga paradigma tafsir ekologi
menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak untuk dirumuskan.
Sementara
itu, menurut laporan Kompas 2 Maret 2010, riset tentang ekologi
relatif masih minim. Padahal riset tentang ekologi, baik yang berbasis pada
penelitian lapangan atau literer sangat penting untuk menjadi bahan
pertimbangan memecahkan problem krisis ekologi. Di samping
itu, riset ekologi termasuk yang berbasis pada penafsiran atas teks-teks
keagamaan juga perlu dilakukan untuk memberikan basis teologis dalam mengelola
alam dan menunjang aksi konkret dalam pencegahan kerusakan alam, agar tidak
terjadi bencana dan kerusakan ekologi yang lebih besar lagi.
Oleh sebab itu, di era modern ini merumuskan
paradigma tafsir ekologis menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk memberikan
kontribusi etis-teologis bagaimana semestinya manusia menjalin komunikasi yang
baik dengan alam yang menjadi tempat tinggalnya. Apa yang disebut dengan paradigma tafsir ekologis (al-tafsîr
al-bi’î) dalam riset ini adalah sebuah
model kerangka berpikir dalam penafsiran al-Qur’an, di mana objek
kajiannnya adalah ayat-ayat yang terkait dengan tema ekologis dan keberpihkan
seorang penafsir terhadap masalah ekologi sangat
menonjol. Dengan kata lain, paradigma tafsir ekologi merupakan sebuah
cara pandang baru (new paradigm) di mana seorang
mufassir akan mengarahkan uraian-uraian penafsirannya dari
sudut pandang atau perspektif ekologis, sehingga gagasan
penafsiran akan selalu mencerminkan keberpihakan terhadap persoalan
ekologi dan ingin memberikan kontribusi dan solusi terhadap problem ekologi
yang menimpa masyarakat modern dewasa ini.
Jika selama
ini dikenal selogan habl min Allâh (menjalin komunikasi yang baik
dengan Allah) dan habl min al-nâs (menjalin komunikasi
yangbaik dengan sesama manusia), maka sudah saatnya juga dikumandangkan
slogan habl ma’a al-bi’ah (menjalin komunikasi yang
baik dengan lingkungan alam). Dengan kata lain, trilogi atas relasi
antara Tuhan sebagai Pencipta, manusia sebagai khalifah dan bumi sebagai tempat
untuk menjalankan misi ke-khalifahan perlu
dilakukan secara harmoni, sehingga ketimpangan-ketimpangan yang
terjadi dengan munculnya bencana alam bisa diminimalisir.
Sebaliknya, membiarkan pola relasi manusia dan alam yang cenderung eksploitatif dan
dekstruktif sama dengan “menandatangani kontrak” bagi
kehancuran eksistensi umat manusia dan mempercepat terjadinya
kiamat.
Dalam
paradigma tafisr ekologis, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dikaji
yaitu menafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan persoalan ekologi,
dengan menggunakan metode tafsir tematik-kontekstual. Ayat-ayat yang
hendak diteliti adalah khusus ayat-ayat yang berbicara tentang pandangan
dasar al-Qur’an mengenai alam, pola relasi Tuhan, manusia dan alam serta
prinisp-prinsip etis-teologis terkait dengan pengelolaan
alam.
Menarik apa yang ditulis Fachruddin M.
Mangunjaya dkk, yang berjudul Menanam Sebelum Kiamat: Islam,
Ekologi dan Gerakan Lingkungan Hidup. Buku tersebut juga merupakan
hasil riset literer dari para pakar. Salah satu point penting yang
dikemukakan dalam buku itu adalah bahwa tugas agama itu untuk memelihara
lima hal, yaitu: 1)agama (hifzh al-dîn), 2) jiwa (hifzh
nafs), 3) akal (hifzh `aql) 4) keturunan (hifzh
nasl) 5) harta (hifzh mâl). Namun tujuan semua itu tidak
mungkin terlaksana tanpa melakukan upanya pemeliharaan lingkungan (hifzh
bî’ah; protection for environment).
Dalam
khazanah Islam, pelestarian alam telah dicontohkan Nabi Muhammad dengan
membentuk kawasan haram, yaitu kawasan yang
diperuntukkan untuk melindungi sumber daya alam agar tidak diganggu. Nabi
Saw. menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh diganggu aturan ekosistemnya,
semisal sumber mata air, sungai, dan lain-lain. Islam juga mempunyai aturan
main dalam melindungi kehidupan liar (wildlife), hutan dan
pepohonan, yakni konsep hima. Himâ merupakan usaha melindungi
hak-hak sumber daya alam yang asli untuk melestarikan alam.
Dalam paradigma tafsir
ekologi, setidak-tidaknya ada prinsip-prinsip etis-teologis dalam
pengelolaan sumber daya alam yang ditawarkan al-Qur’an agar pembangunan
ini tidak merusak kelestarian alam. Dengan lain ungkapan, pembangunan
yang berorientasi keberlanjutan ekologis, yaitu: Pertama,
prinsip al- adalah (justice) yakni berlaku adil. Secara
bahasa adil berarti meletakkan sesauatu pada tempatnya. Adil dalam
konteks ekologi berarti kita berbuat secara seimbang, tidak berlaku aniaya
terhadap alam dan lingkungan. Meskipun manusia berada pada posisi atas dari
penciptaan, namun manusia hanyalah anggota dari komunitas alam. Manusia harus
bertanggung jawab terhadap seluruh lingkungannya, sebagaimana mereka
bertanggung jawab terhadap keluarganya. Berbagai makhluk ciptaan yang hidup di
alam ini, ternyata diakui al-Qur’an sebagai umam amtsâlukum,
umat seperti kalian manusia (Q.S. al-An’am [6]: 38) sehingga berlaku adil
menjadi sebuah keharusan moral yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kedua,
prinsip al-tawazun (keseimbangan). Harmoni dan stabilitas kehidupan ini
memerlukan keseimbangan (al-tawâzun wal i’tidâl ) dan kelestarian
di segala bidang. Rusaknya alam ini karena manusia mengabaikan prinsip
keseimbangan alam (al-mîzân al-kawniy). Ketika tindakan manusia yang
mengabaikan keseimbangan (equilibrium) pasti akan berdampak buruk,
karena ia berarti telah menyalahi desain Allah SWT. Pengelolaan dan
pemanfaatan alam harus selalu memperhatikan aspek keseimbangan alam. Jika
terkait dengan penggunaan SDA (sumber daya alam) yang dapat diperbaharui,
maka manusia harus memperbaharuinya. Jika terkait dengan SDA (sumber daya alam)
yang tak dapat diperbaharui, maka manusia tidak boleh boros (tabzir),
berlebihan (israf). Ketiga, prinsip al- intifa’ dun
al-fasad, mengambil manfaat tanpa merusak. Alam dan segala isinya
diciptakan untuk memang untuk manusia, sejauh hal-hal yang bermanfaat
bagi manusia dan tidak boleh menguras semua sumber daya alam hingga
menimbulkan kerusakan. Keempat, al-Ri’âyah Dûn al-Isrâf, yakni memelihara
dan merawat, dan tidak berlebihan secara eksploitatif, hingga merusak
keberlanjutan ekologi. Kelima, prinsip al-tahdits wa al-istikhlaf
yakni pembaharuan sumber daya alam yang memang
memungkinkan untuk diperbaharui. Wa Allahu a’lam bi
al-shawab.