Rabu, 01 Januari 2014

tafsir ekologi


MENGGAGAS PARADIGMA TAFSIR EKOLOGI
Written By Muhammad Mufid on Wednesday, July 25, 2012 | 12:48 PM

Dr. Abdul Mustaqim.
(Dosen dan Direktur Pusat Studi al-Qur’an dan Hadis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)


Persoalan ekologi merupakan salah satu isu aktual dari kelima isu aktual dewasa ini, yaitu globalisasi, demokrasi, HAM dan  gender dan ekologi. Bahkan isu tentang ekologi tersebut                     diproyeksikan akan tetap selalu aktual pada abad 21 ini. Terlebih ketika masyarakat modern dewasa ini telah mengalami krisis ekologi yang luar biasa. Berbagai bencana muncul silih berganti menimpa mereka, akibat kerusakan ekologi  yang dilakukan oleh tangan-tangan manusia dengan mengeksploitasi alam sedemikian rupa, tanpa mempertimbangkan kelestarian dan keseimbangan  alam (Q.S. al-Rûm [30]: 41).
 Penggunaan rumah-rumah kaca, penggundulan hutan  (baca: illegal logging), penambangan liar,  dan sederet eksploitasi alam  lainnya adalah bukti  bahwa manusia ikut berkontribusi pada kerusakan alam, maka kemudian muncullah apa yang disebut perubahan iklim (climate change atau taghayyur al-thaqs), banjir, tanah longsor, dan global warming serta kerusakan  ekosistem lainnya. sehingga dalam teori etika lingkungan timbul pertanyaan kritis, apakah “Pembangunan Berkelanjutan atau Keberlanjutan Ekologi?”.
Hal itu mestinya menjadi bahan evaluasi, inspirasi dan  sekaligus motovasi bagi  pengkaji al-Qur’an (baca: para mufasir) untuk  segera merumuskan sebuah produk tafsir yang memiliki  perspektif  ekologis demi keberlanjutan ekologi. Hal ini mengingat bahwa perilaku masyarakat (mode of conduct) tidak bisa dipisahkan dengan pola pikir (mode of thought). Sementara pola pikir juga dipengaruhi oleh tafsiran atas teks-teks keagamaan,  kemudian menjadi sistem teologi yang mereka yakini. Karena itu, dari posisi teologi yang mesti dilihat adalah mana dari tindakan manusia itu yang menimbulkan  pelanggaran atas harmoni alam.
Sayangnya, tafsir-tafsir klasik dan abad pertengahan agaknya memang tidak menjelaskan secara  rinci dan sistematik tentang bagaimana manusia sebaiknya mengelola dan melakukan pola relasi dengan alam ini, agar misi kekhalifahan manusia di muka bumi dapat terlaksana dengan baik. Hal itu bisa dimengerti, sebab boleh jadi problem ekologis ketika itu memang  tidak  separah sekarang ini. Demikian halnya ketika penulis membaca beberapa kitab tafsir modern, seperti al-Manâr,  al-Marâghî dan  al-Qâsimî  dan  al-Tahrir wa al-Tanwîr   juga tidak  memperoleh uraian yang memadai tentang persoalan ekologis.  Ini artinya bahwa tafsir sesungguhnya merupakan produk dari anak zamannya, yang  kadang-kadang  tidak lagi kompatibel dengan tuntutan era sekarang, sehingga paradigma tafsir ekologi menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak untuk dirumuskan.  
 Sementara itu, menurut laporan Kompas  2 Maret 2010,  riset tentang ekologi relatif masih minim. Padahal riset tentang ekologi, baik yang berbasis pada penelitian lapangan atau literer sangat penting  untuk menjadi bahan pertimbangan memecahkan problem  krisis ekologi.  Di samping itu,  riset ekologi termasuk yang berbasis pada penafsiran atas teks-teks keagamaan juga perlu dilakukan untuk memberikan basis teologis dalam mengelola alam dan menunjang aksi konkret dalam pencegahan kerusakan alam, agar tidak terjadi bencana dan kerusakan ekologi yang lebih besar lagi. 
Oleh sebab itu, di era modern ini merumuskan paradigma tafsir ekologis menjadi sebuah keniscayaan sejarah untuk memberikan kontribusi etis-teologis bagaimana semestinya manusia menjalin komunikasi yang baik dengan alam yang menjadi tempat tinggalnya. Apa yang disebut dengan paradigma tafsir ekologis (al-tafsîr al-bi’î) dalam riset  ini adalah sebuah model kerangka berpikir  dalam penafsiran al-Qur’an, di mana objek kajiannnya adalah ayat-ayat yang terkait dengan tema ekologis dan keberpihkan seorang penafsir terhadap  masalah  ekologi sangat  menonjol.  Dengan kata lain, paradigma tafsir ekologi merupakan  sebuah cara pandang baru  (new paradigm) di mana  seorang mufassir  akan mengarahkan uraian-uraian penafsirannya  dari sudut  pandang  atau perspektif  ekologis, sehingga gagasan penafsiran akan selalu mencerminkan keberpihakan  terhadap  persoalan ekologi dan ingin memberikan kontribusi dan solusi terhadap problem ekologi yang menimpa masyarakat modern dewasa ini. 
Jika selama ini dikenal selogan habl min Allâh (menjalin komunikasi yang baik dengan Allah)  dan habl min al-nâs (menjalin komunikasi yangbaik dengan sesama manusia), maka sudah saatnya  juga dikumandangkan slogan habl ma’a al-bi’ah (menjalin komunikasi yang baik dengan lingkungan alam). Dengan kata lain,  trilogi atas relasi antara Tuhan sebagai Pencipta, manusia sebagai khalifah dan bumi sebagai tempat untuk menjalankan misi ke-khalifahan perlu dilakukan secara harmoni, sehingga ketimpangan-ketimpangan yang terjadi   dengan munculnya bencana alam bisa diminimalisir. Sebaliknya, membiarkan  pola relasi manusia dan alam yang cenderung eksploitatif dan dekstruktif sama dengan “menandatangani kontrak” bagi kehancuran  eksistensi umat manusia  dan mempercepat terjadinya kiamat.
Dalam paradigma tafisr ekologis, paling tidak ada beberapa hal yang perlu dikaji yaitu menafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang terkait dengan persoalan ekologi, dengan menggunakan metode tafsir tematik-kontekstual. Ayat-ayat  yang hendak  diteliti adalah khusus ayat-ayat yang berbicara tentang pandangan dasar al-Qur’an mengenai alam, pola relasi Tuhan,  manusia dan alam serta prinisp-prinsip  etis-teologis  terkait dengan pengelolaan alam.      
Menarik apa yang ditulis Fachruddin M. Mangunjaya dkk,  yang berjudul Menanam Sebelum Kiamat: Islam, Ekologi  dan Gerakan Lingkungan Hidup. Buku tersebut juga merupakan hasil riset  literer dari para pakar. Salah satu point penting yang dikemukakan dalam buku itu adalah bahwa tugas  agama itu untuk memelihara lima hal, yaitu: 1)agama (hifzh al-dîn), 2) jiwa   (hifzh nafs), 3) akal (hifzh  `aql) 4) keturunan (hifzh nasl)  5) harta (hifzh mâl). Namun tujuan semua itu tidak mungkin terlaksana tanpa melakukan upanya pemeliharaan lingkungan (hifzh bî’ah;  protection for environment).
Dalam khazanah Islam, pelestarian alam telah dicontohkan Nabi Muhammad dengan membentuk kawasan haram,  yaitu kawasan yang diperuntukkan untuk melindungi sumber daya alam agar tidak diganggu. Nabi Saw. menetapkan daerah-daerah yang tidak boleh diganggu aturan ekosistemnya, semisal sumber mata air, sungai, dan lain-lain. Islam juga mempunyai aturan main dalam melindungi kehidupan liar (wildlife), hutan dan pepohonan, yakni konsep hima. Himâ merupakan usaha melindungi hak-hak sumber daya alam yang asli  untuk melestarikan alam.
Dalam paradigma tafsir ekologi, setidak-tidaknya ada prinsip-prinsip etis-teologis dalam pengelolaan sumber daya alam yang ditawarkan al-Qur’an agar  pembangunan ini tidak merusak  kelestarian alam. Dengan lain ungkapan, pembangunan yang berorientasi keberlanjutan ekologis, yaitu:  Pertama, prinsip  al- adalah (justice) yakni berlaku adil. Secara bahasa adil  berarti meletakkan sesauatu pada tempatnya. Adil dalam konteks ekologi berarti kita berbuat secara seimbang, tidak berlaku aniaya terhadap alam dan lingkungan. Meskipun manusia berada pada posisi atas dari penciptaan, namun manusia hanyalah anggota dari komunitas alam. Manusia harus bertanggung jawab terhadap seluruh lingkungannya, sebagaimana mereka bertanggung jawab terhadap keluarganya. Berbagai makhluk ciptaan yang hidup di alam ini,  ternyata diakui al-Qur’an sebagai umam amtsâlukum, umat seperti kalian manusia (Q.S. al-An’am [6]: 38) sehingga berlaku adil menjadi sebuah keharusan moral yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Kedua, prinsip al-tawazun (keseimbangan). Harmoni dan stabilitas kehidupan ini memerlukan keseimbangan  (al-tawâzun wal i’tidâl ) dan kelestarian di segala bidang. Rusaknya alam ini karena manusia mengabaikan prinsip keseimbangan alam (al-mîzân al-kawniy). Ketika tindakan manusia yang mengabaikan keseimbangan (equilibrium) pasti akan berdampak buruk,  karena ia berarti telah menyalahi desain Allah SWT.  Pengelolaan dan pemanfaatan alam harus selalu memperhatikan aspek keseimbangan alam. Jika terkait dengan penggunaan SDA (sumber daya alam) yang  dapat diperbaharui, maka manusia harus memperbaharuinya. Jika terkait dengan SDA (sumber daya alam) yang tak dapat  diperbaharui, maka manusia tidak boleh boros (tabzir), berlebihan (israf). Ketiga,  prinsip al- intifa’ dun al-fasad, mengambil manfaat tanpa merusak.  Alam dan segala isinya diciptakan untuk memang untuk manusia, sejauh hal-hal yang bermanfaat bagi  manusia dan tidak boleh menguras semua sumber daya alam hingga menimbulkan kerusakan.  Keempat, al-Ri’âyah Dûn al-Isrâf, yakni   memelihara dan merawat, dan tidak berlebihan secara eksploitatif, hingga merusak keberlanjutan ekologi. Kelima, prinsip al-tahdits wa al-istikhlaf  yakni pembaharuan sumber daya alam yang memang memungkinkan  untuk diperbaharui.   Wa Allahu a’lam bi al-shawab.

Khusr dalam al-Qur'an


Lafadz Khusr خسر)) dalam Al Qur’an
A.    pengertian
Menurut Ibnu Mandzur kata khusr خسر)) berarti dhalal (sesat) dan halak (kebinasaan).[1]Sedangkan menurut  Ar-Raghib al-Ashfahani kata khusr خسر)) secara harfiah arti dasarnya adalah berkurang. Kata ini digunakan untuk menunjukkan berkurangnya modal.  kemudian dipakai untuk menunjukkan keadaan manusia. Dengan demikian, dikenallah kerugian secara eksternal seperti kerugian harta, dan kerugian wibawa kedunian. Juga, kerugian yang bersifat internal seperti kesehatan, keselamatan, akal iman dan pahala.[2]
Di dalam  Al Qur’an kata khusr خسر)) dengan berbagai kata turunannya terdapat sebanyak 65 kali yang tersebar di dalam 35 surah.[3] Al Qur”an menggunakan kata khusr antara lain di dalam kaitan sebagai berikut:
1.      Tidak konsekuen
a.       QS. Al Hajj(22) ayat 11
z`ÏBur Ĩ$¨Z9$# `tB ßç7÷ètƒ ©!$# 4n?tã 7$öym ( ÷bÎ*sù ¼çmt/$|¹r& îŽöyz ¨br'yJôÛ$# ¾ÏmÎ/ ( ÷bÎ)ur çm÷Ft/$|¹r& îpuZ÷FÏù |=n=s)R$# 4n?tã ¾ÏmÎgô_ur uŽÅ£yz $u÷R9$# notÅzFy$#ur 4 y7Ï9ºsŒ uqèd ãb#uŽô£ãø9$# ßûüÎ7ßJø9$# ÇÊÊÈ  
dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi; Maka jika ia memperoleh kebajikan, tetaplah ia dalam Keadaan itu, dan jika ia ditimpa oleh suatu bencana, berbaliklah ia ke belakang. rugilah ia di dunia dan di akhirat. yang demikian itu adalah kerugian yang nyata.
2.      Mengikuti setan
Beberapa kasus kerugian akibat bisikan setan antara lain:
a.       Memotong telingan binatang ternak yang akan dipersembahkan kepada berhala dan mengubah agama Allah .Qs. An Nisa’ 94) ayat 119
b.      Membunuh anak karena kebodohan QS. Al An’am(6) ayat 140
c.       Berbohong Qs. Yusuf (12) ayat 14
d.      Kabil yang menbunuh habil QS. Al Maida (5) ayat 30
3.      Tidak jujur dalam menimbang atau menakar
QS. Ar Rahman (55) ayat 9
(#qßJŠÏ%r&ur šcøuqø9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ Ÿwur (#rçŽÅ£øƒéB tb#uÏJø9$# ÇÒÈ  
dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.
4.      Mengingkari kebenaran ajaran Allah
QS. Yunus (10) ayat 45
tPöqtƒur öNèdçŽà³øts br(x. óO©9 (#þqèVt6ù=tƒ žwÎ) Zptã$y z`ÏiB Í$pk¨]9$# tbqèùu$yètGtƒ öNæhuZ÷t/ 4 ôs% uŽÅ£yz tûïÏ%©!$# (#qç/¤x. Ïä!$s)Î=Î/ «!$# $tBur (#qçR%x. tûïÏtGôgãB ÇÍÎÈ  
dan (ingatlah) akan hari (yang di waktu itu) Allah mengumpulkan mereka, (mereka merasa di hari itu) seakan-akan mereka tidak pernah berdiam (di dunia) hanya sesaat di siang hari, (di waktu itu) mereka saling berkenalan. Sesungguhnya rugilah orang-orang yang mendustakan Pertemuan mereka dengan Allah dan mereka tidak mendapat petunjuk

B.     Bentuk-bentuk kerugian
Beberapa bentuk kerugian yang dikemukakan Al Qur’an tidak selalu identik dengan persoalan kehidupan dunia, tetapi lebih ditekankan pada hal-hal spiritual dan ukhrawi yang sifatnya imani. Misalnya:
1.       iman diwaktu azab telah tiba, tidaklah membawa hasil
QS. Ali Imran (2) ayat 149.
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ  
 dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.

2.       Penyesalan yang selalu datang terlambat QS. Al A’raf (7) ayat 53.
ö@yd tbrãÝàZtƒ žwÎ) ¼ã&s#ƒÍrù's? 4 tPöqtƒ ÎAù'tƒ ¼ã&é#ƒÍrù's? ãAqà)tƒ šúïÏ%©!$# çnqÝ¡nS `ÏB ã@ö7s% ôs% ôNuä!%y` ã@ßâ $uZÎn/u Èd,ysø9$$Î/ @ygsù $uZ©9 `ÏB uä!$yèxÿä© (#qãèxÿô±uŠsù !$uZs9 ÷rr& ŠtçR Ÿ@yJ÷èuZsù uŽöxî Ï%©!$# $¨Zä. ã@yJ÷ètR 4 ôs% (#ÿrçŽÅ£yz öNåk|¦àÿRr& ¨@|Êur Nåk÷]tã $¨B (#qçR$Ÿ2 šcrçŽtIøÿtƒ ÇÎÌÈ  
Tiadalah mereka menunggu-nunggu kecuali (terlaksananya kebenaran) Al Quran itu. pada hari datangnya kebenaran pemberitaan Al Quran itu, berkatalah orang-orang yang melupakannya sebelum itu: "Sesungguhnya telah datang Rasul-rasul Tuhan Kami membawa yang hak, Maka Adakah bagi Kami pemberi syafa'at yang akan memberi syafa'at bagi Kami, atau dapatkah Kami dikembalikan (ke dunia) sehingga Kami dapat beramal yang lain dari yang pernah Kami amalkan?". sungguh mereka telah merugikan diri mereka sendiri dan telah lenyaplah dari mereka tuhan-tuhan yang mereka ada-adakan.
3.       Kerugian fisik dan mental
QS. At Thalaq (65) ayat 9.
ôMs%#xsù tA$t/ur $yd͐öDr& tb%x.ur èpt7É)»tã $yd͐öDr& #·Žô£äz ÇÒÈ  
Maka mereka merasakan akibat yang buruk dari perbuatannya, dan adalah akibat perbuatan mereka kerugian yang besar.
4.      Tidak beriman
ô`ÏBur ß]øym |Mô_tyz ÉeAuqsù y7ygô_ur tôÜx© ÏÉfó¡yJø9$# ÏQ#tysø9$# ( ¼çm¯RÎ)ur ,ysù=s9 `ÏB y7Îi/¢ 3 $tBur ª!$# @@Ïÿ»tóÎ/ $£Jtã tbqè=yJ÷ès? ÇÊÍÒÈ  
 dan dari mana saja kamu keluar (datang), Maka Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil haram, Sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan.
C.    Cara menghindari kerugian
           Orang yang beriman harus menghindari segala bentuk kerugian tersebut. di antaranya:
a.        Harus peka, efisien dan berusaha mengemukakan yang terbaik, serta sabar memperjuangkannya QS. Al Ashr (103) ayat 2.
¨bÎ) z`»|¡SM}$# Å"s9 AŽô£äz ÇËÈ  
Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian
b.      Jeli memperhatikan realitas untuk melakukan klasifikasi dan analisis
QS. Al Anfal(8) ayat 37
uÏJuÏ9 ª!$# y]ŠÎ6yø9$# z`ÏB É=Íh©Ü9$# Ÿ@yèøgsur y]ŠÎ6yø9$# ¼çmŸÒ÷èt/ 4n?tã <Ù÷èt/ ¼çmyJà2÷Žzsù $YèŠÏHsd ¼ã&s#yèôfuŠsù Îû tL©èygy_ 4 šÍ´¯»s9'ré& ãNèd šcrçŽÅ£»yø9$# ÇÌÐÈ  
supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu kesemuanya ditumpukkan-Nya, dan dimasukkan-Nya ke dalam neraka Jahannam. mereka Itulah orang-orang yang merugi.
c.       Tidak lalai mengingat Allah
QS. AL Munafiqun (63) ayat 9[4]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä Ÿw ö/ä3Îgù=è? öNä3ä9ºuqøBr& Iwur öNà2ß»s9÷rr& `tã ̍ò2ÏŒ «!$# 4 `tBur ö@yèøÿtƒ y7Ï9ºsŒ y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrçŽÅ£»yø9$# ÇÒÈ  
Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian Maka mereka Itulah orang-orang yang merugi.


 
DAFTAR PUSTAKA
Al-Ashfahani, Ar Raghib. Mu’jam Mufrad Alfadzil Qur’an. Beirut, Dar al-Kutub Al-Islamiyah : 2008
Aly Ash Shabuny, Muhammad. Pengantar Study Al Qur’an ( At Tibyan). Bandung :  PT Al Ma’arif 1984.
Mandzur, Ibnu. Lisanul Arab..jilid 4.
Sahabuddin. Ensiklopedia Al Qur’an : Kajian Kosakata. Jakarta: Lentera Hati, 2007.






















[1] Ibnu Mandzur, Lisanul Arab..jilid 4, hlm. 238
[2] Ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufrad Alfadzil Qur’an, (Beirut, Dar al-Kutub Al-Islamiyah : 2008), hlm. 166
[3] Sahabuddin, Ensiklopedia Al Qur’an : Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.487
[4] Sahabuddin, Ensiklopedia Al Qur’an : Kajian Kosakata, (Jakarta: Lentera Hati, 2007), hlm.489