MANUSIA
Menurut Hamka
Oleh : Ali Imron
A. Eksistensi Manusia
Hamka
menganggap selama beribu-ribu tahun manusia selalu menjadi persoalan, dibanding
dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Manusia diasumsikan sebagai makhluk
yang penuh problematik. Eksistensi manusia hidup di muka bumi juga telah
diakui, sehingga dirinya pun ditempatkan sebagai khalifah di dunia ini.
Gambaran-gambaran tentang eksistensi manusia menurut Hamka dapat dilihat ketika
menafsirkan Q.S. Al-Insa>n (76): 1 (Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari
masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?). Manusia selalu menjadi pusat perhatian, karena
manusia merupakan makhluk paling istimewa dibanding dengan makhluk Tuhan yang
lain di dunia. Manusia mempunyai akal, ingatan, kenangan, dan juga memiliki
gagasan tentang sesuatu yang hendak dikerjakan.[1]
Pertanyaan
yang diungkapkan ayat di atas tersirat ingin menunjukkan atau meminta perhatian
mengenai persoalan tersebut. Manusia yang diberikan kedudukan istimewa daripada
makhluk lain seolah melupakan bahwa sebelumnya manusia tidak memilih eksistensi
yang berarti, sebelum manusia diciptakan. Pertanyaan pada ayat itu sebenarnya
ingin mengajak manusia untuk mengingat suatu zaman, di mana manusia saat itu
belum berarti apapun, atau belum dianggap penting. Artinya, mengingat hal
tersebut, maka sudah semestinya manusia tidak diperkenankan memiliki sifat
sombong.
Manusia
sering merasa puas dengan dirinya sendiri, dan menyangka bahwa segala pekerjaan
yang dikerjakan dalam masyarakat, tidak akan sempurna tanpa peran serta orang tertentu,
karena merasa dirinya memiliki kelebihan dibanding orang lain. Perbuatan
seperti ini bagi Hamka akan membawa seseorang pada sikap ujub, dan lupa akan
kekurangan diri sendiri. Padahal Allah swt. memberikan keutamaan adan kelebihan
tidak hanya pada satu orang, tetapi dibagi-bagi.[2] Masing-masing individu
memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga keberadaan seseorang di masyarakat
berfungsi untuk saling melengkapi.
B. Penciptaan Manusia
Manusia pada
mulanya merupakan makhluk yang tidak terkenal, dan tidak memiliki sebutan
(manusia/al-insa>n) di bumi yang sangat luas. Manusia yang saat ini muncul sebagai makhluk hidup, memiliki asal usul
kejadian secara biologis, yaitu diciptakan dari nut}fah (setitik mani atau khama). Nut}fah menurut Hamka adalah setitik atau segumpal air
mani yang telah bercampur, yaitu bercampurnya bibit halus seperti cacing dari
mani laki-laki dengan bibit halus seperti telur dari mani si perempuan.[3] Pandangan Hamka ini
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan nut}fah adalah embrio janin. Embrio ini merupakan
hasil dari pembuahan, yaitu hasil penggabungan sel reproduktif laki-laki (spermatozoon)
dengan ovum atau sel telur perempuan, yang secara normal terjadi di
dalam tuba uterina sebagai kelanjutan dari hubungan kelamin.[4]
Kedua sel
tersebut bertemu melekat dan tidak berpisahkan lagi. Keduanya dikumpulkan dan
dicampurkan jadi satu menjadi nut}fah. Inilah yang dimaksud Hamka sebagai bibit manusia (embrio). Setelah itu
embrio manusia berubah menjadi segumpal darah di rahim ibu selama 40 hari, lalu
dibentuk sesudah melalui masa jelmaan menjadi daging (mud}gah) selama 40 hari pula.[5] Fase mud}gah ditandai dengan mulai tampaknya
bagian-bagian tubuh atau kelompok-kelompok anggota tubuh (somites).
Penampakan bagian tubuh itu diawali dengan tampaknya satu bagian tubuh,
kemudian bertambah menjadi kurang lebih 40 hingga 45 anggota tubuh. Setelah
fase ini, proses pembentukan organ-organ masih terus berlangsung, dan semua
organ menjadi lengkap setelah minggu ke-12.[6]
C. Dimensi Negatif
Psikologi Manusia
Manusia
selain memiliki dimensi positif jika dilihat dari aspek psikis (nafs al-mut}mainnah), juga memiliki potensi negatif dalam
dirinya. Hamka menggambarkan potensi negatif ini ketika menafsirkan beberapa ayat
dalam Q.S. Al-Ma’arij (70). Ayat 19 dalam surat ini, ”Sesungguhnya
manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”, berarti manusia tidak mempunyai ketenangan hati,
selalu cemas, selalu ketakutan dan selalu merasa kekurangan. Berbagai macam
sakit kejiwaan dapat pula mengiringi keluh kesah itu.[7] Sifat-sifat tersebutlah yang dimaksud oleh
Hamka sebagai bagian dari sisi negatif psikis manusia.
”Apabila ia ditimpa kesusahan ia
berkeluh kesah”, ayat (20) dalam surat ini menurut
Hamka menjelaskan, bahwa ketika manusia ditimpa kesusahan, maka dia tidak mampu
mengendalikan diri. Manusia menjadi gelisah, menyesali nasib atau menyalahkan
orang lain. Manusia hanya ingin ”tahu beres” saja, tidak mau terganggu
sedikitpun.[8] Gambaran negatif yang
diekpresikan oleh Hamka ini relevan dengan konteks saat ini. Ada kecenderungan
manusia untuk bernegatif thinking, ketika ada musibah menimpanya, meski
bukan berarti semua orang bersikap demikian. Ada sebagian orang ketika ditimpa
musibah cenderung menyalahkan orang lain, termasuk kepada Tuhan, tanpa
melakukan introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan.
”Dan apabila dia disentuh kebajikan, dia
pun mendindingkan diri”. Hamka mengartikan kata ”manu>’a” pada
ayat (21) surat ini dengan arti ”mendindingkan diri”, yaitu tidak mau dihubungi
oleh orang lain. Manusia mencari 1000 macam akal untuk mengelak ketika ada
orang yang datang meminta pertolongan. Manusia cenderung memberikan jawaban
yang mengada-ada untuk menyembunyikan kemampuannya.[9]
Hal inilah yang menurut Hamka menyebabkan manusia bakhil, tidak bersedia
mengulurkan tangan guna menolong orang lain. Pada saat itulah, manusia
melupakan kesusahan yang pernah menimpanya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa
buruknya perangai manusia. Meskipun demikian, Hamka menjelaskan lebih lanjut
dengan menafsirkan ayat-ayat berikutnya. Sifat-sifat buruk tersebut
diperkecualikan bagi orang-orang yang selalu salat, karena salat menurut Hamka
dapat menyembuh penyakit keluh kesah dan kikir. Tentunya salat merupakan salat
yang benar-benar salat, tidak hanya sekedar aktifitas yang diawali takbirat
al-ikram, lalu diakhir dengan salam, tetapi harus lebih dari itu dengan
meresapi makna salat itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Hamka, Tafsir
Al-Azhar, Juz XXIX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
______, Tasauf
Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Pearce, Evelyn C., Anatomi dan
Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia, 2002.
[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta:
Pustaka Panjimas, 1983), juz XXIX, hlm. 262.
[2] Hamka, Tasauf Modern
(Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm.158.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm.
263.
[4] Evelyn C. Pearce, Anatomi dan
Fisiologi untuk Paramedis (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 263.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm.
253.
[6] Evelyn C. Pearce, Anatomi dan
Fisiologi., hlm. 271.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm.
111.
[8] Ibid.
[9] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar