Rabu, 01 Januari 2014

Manusia menurut Hamka


MANUSIA
Menurut Hamka
Oleh : Ali Imron

A.    Eksistensi Manusia
Hamka menganggap selama beribu-ribu tahun manusia selalu menjadi persoalan, dibanding dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Manusia diasumsikan sebagai makhluk yang penuh problematik. Eksistensi manusia hidup di muka bumi juga telah diakui, sehingga dirinya pun ditempatkan sebagai khalifah di dunia ini. Gambaran-gambaran tentang eksistensi manusia menurut Hamka dapat dilihat ketika menafsirkan Q.S. Al-Insa>n (76): 1 (Bukankah telah datang atas manusia satu waktu dari masa, sedang Dia ketika itu belum merupakan sesuatu yang dapat disebut?). Manusia selalu menjadi pusat perhatian, karena manusia merupakan makhluk paling istimewa dibanding dengan makhluk Tuhan yang lain di dunia. Manusia mempunyai akal, ingatan, kenangan, dan juga memiliki gagasan tentang sesuatu yang hendak dikerjakan.[1]
Pertanyaan yang diungkapkan ayat di atas tersirat ingin menunjukkan atau meminta perhatian mengenai persoalan tersebut. Manusia yang diberikan kedudukan istimewa daripada makhluk lain seolah melupakan bahwa sebelumnya manusia tidak memilih eksistensi yang berarti, sebelum manusia diciptakan. Pertanyaan pada ayat itu sebenarnya ingin mengajak manusia untuk mengingat suatu zaman, di mana manusia saat itu belum berarti apapun, atau belum dianggap penting. Artinya, mengingat hal tersebut, maka sudah semestinya manusia tidak diperkenankan memiliki sifat sombong.
Manusia sering merasa puas dengan dirinya sendiri, dan menyangka bahwa segala pekerjaan yang dikerjakan dalam masyarakat, tidak akan sempurna tanpa peran serta orang tertentu, karena merasa dirinya memiliki kelebihan dibanding orang lain. Perbuatan seperti ini bagi Hamka akan membawa seseorang pada sikap ujub, dan lupa akan kekurangan diri sendiri. Padahal Allah swt. memberikan keutamaan adan kelebihan tidak hanya pada satu orang, tetapi dibagi-bagi.[2] Masing-masing individu memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga keberadaan seseorang di masyarakat berfungsi untuk saling melengkapi.
B.     Penciptaan Manusia
Manusia pada mulanya merupakan makhluk yang tidak terkenal, dan tidak memiliki sebutan (manusia/al-insa>n) di bumi yang sangat luas. Manusia yang saat ini muncul  sebagai makhluk hidup, memiliki asal usul kejadian secara biologis, yaitu diciptakan dari nut}fah (setitik mani atau khama). Nut}fah menurut Hamka adalah setitik atau segumpal air mani yang telah bercampur, yaitu bercampurnya bibit halus seperti cacing dari mani laki-laki dengan bibit halus seperti telur dari mani si perempuan.[3] Pandangan Hamka ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan nut}fah adalah embrio janin. Embrio ini merupakan hasil dari pembuahan, yaitu hasil penggabungan sel reproduktif laki-laki (spermatozoon) dengan ovum atau sel telur perempuan, yang secara normal terjadi di dalam tuba uterina sebagai kelanjutan dari hubungan kelamin.[4]
Kedua sel tersebut bertemu melekat dan tidak berpisahkan lagi. Keduanya dikumpulkan dan dicampurkan jadi satu menjadi nut}fah. Inilah yang dimaksud Hamka sebagai bibit manusia (embrio). Setelah itu embrio manusia berubah menjadi segumpal darah di rahim ibu selama 40 hari, lalu dibentuk sesudah melalui masa jelmaan menjadi daging (mud}gah) selama 40 hari pula.[5] Fase mud}gah ditandai dengan mulai tampaknya bagian-bagian tubuh atau kelompok-kelompok anggota tubuh (somites). Penampakan bagian tubuh itu diawali dengan tampaknya satu bagian tubuh, kemudian bertambah menjadi kurang lebih 40 hingga 45 anggota tubuh. Setelah fase ini, proses pembentukan organ-organ masih terus berlangsung, dan semua organ menjadi lengkap setelah minggu ke-12.[6]

C.     Dimensi Negatif Psikologi Manusia
Manusia selain memiliki dimensi positif jika dilihat dari aspek psikis (nafs al-mut}mainnah), juga memiliki potensi negatif dalam dirinya. Hamka menggambarkan potensi negatif ini ketika menafsirkan beberapa ayat dalam Q.S. Al-Ma’arij (70). Ayat 19 dalam surat ini, ”Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir”, berarti manusia tidak mempunyai ketenangan hati, selalu cemas, selalu ketakutan dan selalu merasa kekurangan. Berbagai macam sakit kejiwaan dapat pula mengiringi keluh kesah itu.[7]  Sifat-sifat tersebutlah yang dimaksud oleh Hamka sebagai bagian dari sisi negatif psikis manusia.
”Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah”, ayat (20) dalam surat ini menurut Hamka menjelaskan, bahwa ketika manusia ditimpa kesusahan, maka dia tidak mampu mengendalikan diri. Manusia menjadi gelisah, menyesali nasib atau menyalahkan orang lain. Manusia hanya ingin ”tahu beres” saja, tidak mau terganggu sedikitpun.[8] Gambaran negatif yang diekpresikan oleh Hamka ini relevan dengan konteks saat ini. Ada kecenderungan manusia untuk bernegatif thinking, ketika ada musibah menimpanya, meski bukan berarti semua orang bersikap demikian. Ada sebagian orang ketika ditimpa musibah cenderung menyalahkan orang lain, termasuk kepada Tuhan, tanpa melakukan introspeksi diri terhadap apa yang telah dilakukan.
”Dan apabila dia disentuh kebajikan, dia pun mendindingkan diri”. Hamka mengartikan kata ”manu>’a” pada ayat (21) surat ini dengan arti ”mendindingkan diri”, yaitu tidak mau dihubungi oleh orang lain. Manusia mencari 1000 macam akal untuk mengelak ketika ada orang yang datang meminta pertolongan. Manusia cenderung memberikan jawaban yang mengada-ada untuk menyembunyikan kemampuannya.[9] Hal inilah yang menurut Hamka menyebabkan manusia bakhil, tidak bersedia mengulurkan tangan guna menolong orang lain. Pada saat itulah, manusia melupakan kesusahan yang pernah menimpanya.
Penjelasan di atas menunjukkan betapa buruknya perangai manusia. Meskipun demikian, Hamka menjelaskan lebih lanjut dengan menafsirkan ayat-ayat berikutnya. Sifat-sifat buruk tersebut diperkecualikan bagi orang-orang yang selalu salat, karena salat menurut Hamka dapat menyembuh penyakit keluh kesah dan kikir. Tentunya salat merupakan salat yang benar-benar salat, tidak hanya sekedar aktifitas yang diawali takbirat al-ikram, lalu diakhir dengan salam, tetapi harus lebih dari itu dengan meresapi makna salat itu sendiri.

DAFTAR PUSTAKA

Hamka, Tafsir Al-Azhar, Juz XXIX, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983.
______, Tasauf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990.
Pearce, Evelyn C., Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis, Jakarta: Gramedia, 2002.



[1] Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983), juz XXIX, hlm. 262.
[2] Hamka, Tasauf Modern (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm.158.
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm. 263.
[4] Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis (Jakarta: Gramedia, 2002), hlm. 263.
[5] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm. 253.
[6] Evelyn C. Pearce, Anatomi dan Fisiologi., hlm. 271.
[7] Hamka, Tafsir Al-Azhar, hlm. 111.
[8] Ibid.
[9] Ibid.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar