Senin, 21 Oktober 2013

ANALISIS STRUKTURAL DAN SEMIOTIKA AL-QUR’AN Studi terhadap Kisah Yusuf dalam Surat Yusuf

Oleh: Ali Imron
A. Pendahuluan
Pemahaman terhadap al-Qur’an yang diyakini sebagai kitab shalihun li kulli zamanin wa makanin selalu bersifat terbuka dan tidak pernah selesai. Pemahaman selalu berkembang seiring dengan umat Islam yang selalu terlibat dalam penafsiran ulang dari zaman ke zaman. Hal ini berarti tidak semua doktrin dan pemahaman agama berlaku sepanjang waktu dan tempat mengingat gagasan universal Islam tidak semuanya tertampung dalam bahasa yang bersifat lokal-kultural dan terungkap melalui tradisi kenabian. Itulah sebabnya dari zaman ke zaman selalu muncul ulama-ulama tafsir yang berusaha mengaktualkan pesan-pesan al-Qur’an yang tidak mengenal batas akhir.
Kisah-kisah Al-Qur’an merupakan sebuah struktur, yang merupakan unsur-unsur bersistem, dan antar sistem tersebut saling berhubungan timbal balik. Analisis struktur dalam hal ini adalah teori strukturalisme dalam kritik sastra bukan dalam konteks linguistik, yang beranggapan bahwa dalam karya sastra (kisah dalam Al-Qur’an) merupakan bangunan rumah yang terdiri berbagai elemen-elemen yang saling berhubungan.
Semiotika atau semiologi merupakan cabang keilmuan modern yang mengkaji sistem tanda yang terdapat pada bahasa. Teori ini sering digunakan mengkaji sistem tanda yang ada pada bahasa karya sastra. Bahasa sebagai medium karya sastra sudah merupakan sistem semiotik, yaitu sistem ketandaan yang mempunyai arti. Sistem tanda ini memiliki makna yang dapat diketahui dengan melihat hubungan antara penanda (signifier/signifiant) dan petanda (signified/signifie).
Pada perkembangan pemaknaan terhadap teks Al-Qur’an di masa modern, teori yang berasal dari Ferdinand de Saussure dan Charles Sanders Peirce ini digunakan untuk memahami sekaligus menganalisis teks-teks Al-Qur’an. Nasr Hamid Abu Zaid adalah salah tokoh pelopor yang mengcoba mengaplikasikan teori ini, meskipun terjadi pro-kontra. Terlepas dari persoalan polemik tersebut, penulis merasa perlu untuk mencoba menerapkan dua pendekatan tersebut untuk menganalisis kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf.
B. Analisis Struktural dan Semiotika Al-Qur’an
Analisis struktural dipelopori oleh kaum Formalis Rusia dan Strukturalisme Praha, yang mendapat pengaruh langsung dari teori Ferdinand de Saussure. Sebagaimana strukturalisme yang dipahami oleh ahli linguis Saussurian bahwa bahasa memiliki struktur, karya sastra (kisah) juga memiliki struktur. Asumsi yang pertama dibangun teori ini menjelaskan bahwa kisah merupakan sebuah totalitas yang dibangun secara koheren oleh berbagai unsur pembangun. Masing-masing unsur tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memiliki ketergantungan dengan unsur-unsur yang lain. Unsur-unsur tersebut saling berhubungan, sehingga membentuk kesatuan cerita yang utuh.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an juga merupakan kumpulan unsur yang membentuk sebuah cerita yang utuh. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an tidak pernah berdiri, jika ada salah satu unsur yang hilang. Dalam analisis struktural, unsur-unsur yang dikaji antara lain; peristiwa, plot atau alur, tokoh dan penokohan, latar, sudut pandang dan lain-lain. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an juga memiliki unsur-unsur tersebut, sebagaimana dalam cerita fiksi.
Pada dasarnya analisis struktural bertujuan memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar berbagai unsur kisah, yang secara bersamaan menghasilkan sebuah kesatuan. Analisis tidak cukup hanya mendata unsur tertentu sebuah kisah, seperti peristiwa, plot, tokoh, latar, atau yang lain, tapi yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana hubungan antara unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk menganalisis struktur kisah cerita Yusuf dalam Q.S. Yusuf. Meskipun demikian, penulis hanya menganalisis kisah Yusuf hanya pada fragmen-fragmen (penggalan cerita) awal saja, yaitu ketika Yusuf bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan bersujud padanya, dan tragedi pembuangan Yusuf ke dalam sumur.
Semiotika merupakan sebuah model ilmu pengetahuan sosial dalam memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut “tanda”. Semiotika berasal dari kata Yunani, semeion yang berarti tanda. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain atas dasar konvensi sosial. Istilah semiotika sering digunakan bersama dengan istilah semiologi. Dalam kedua istilah ini tidak terdapat perbedaan yang substantif, tergantung di mana istilah itu populer. Biasanya semiotika lebih mengarah pada tradisi Piercean, sementara istilah semiologi banyak digunakan oleh de Saussure. Ada kecenderungan istilah semiotika lebih populer daripada semiologi, sehingga para penganut madzhab Saussurian pun sering menggunakan istilah semiotika. Namun, pada dasarnya kedua hal itu merupakan ilmu yang mempelajari hubungan antar signs (tanda-tanda) berdasarkan kode-kode tertentu. Tanda-tanda tersebut akan tampak pada tindak komunikasi manusia lewat bahasa.
Tanda dalam semiotika terdiri dari dua macam, yaitu penanda dan petanda. Penanda adalah bentuk formal yang menandai petanda, sedangkan petanda adalah suatu konsep atau arti yang ada di balik tanda. Berdasarkan hubungan antara penanda dan petanda, ada tiga jenis tanda yang pokok, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah hubungan antara penanda dan petanda yang bersifat persamaan bentuk, misalnya potret menandai orang yang dipotret. Indeks adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan alamiyah antara penanda dan petanda yang bersifat sebab-akibat, misal asap penanda yang menandai adanya api (petanda). Simbol itu tanda yang tidak menunjukkan hubungan alamiyah antara penanda dan petanda, tapi hubungan tersebut bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi, misalnya hubungan kata ”ibu” sebagai penanda dengan konsep ”orang yang melahirkan” sebagai petanda bersifat arbitrer dan berdasarkan konvensi masyarakat. Dalam konteks Al-Qur’an, sesuatu yang bisa disebut sebagai penanda adalah bahasa Al-Qur’an itu sendiri, sedangkan petandanya adalah konsep atau makna (meaning) yang berada di balik bahasa itu.
Bahasa sebagai medium karya sastra merupakan sistem tanda tingkat pertama. Begitu pula dengan bahasa sebagai medium kisah-kisah Al-Qur’an juga dianggap sebagai sistem tanda tingkat pertama. Dalam semiotik, arti bahasa sebagai sistem tanda tingkat pertama disebut meaning (arti). Kisah-kisah Al-Qur’an merupakan sistem tanda yang berdasarkan konvensi, yaitu konvensi yang adalah Al-Qur’an itu sendiri. Oleh karena itu, setelah sistem tanda yang ada pada bahasa kisah-kisah Al-Qur’an masih ada sistem tanda yang di atasnya, yang bisa disebut dengan sistem semiotik tingkat kedua. Dalam hal ini berarti meaning yang ada pada bahasa kisah-kisah Al-Qur’an masih memiliki meaning lain di atas meaning yang pertama, sebab semiotika dalam pengertian yang lebih luas beranggapan bahwa fenomena dunia yang berada di luar bahasa merupakan sistem tanda yang lebih besar. Menurut penulis, dalam konteks kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf sistem tanda tersebut bisa berupa hubungan timbal balik antar unsur yang membentuk kisah maupun konteks historisnya. Berangkat dari alasan inilah penulis merasa perlu mengkombinasikan pendekatan struktural dengan semiotik untuk mengungkap meaning di balik kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf.
Analisis semiotika terhadap kisah-kisah al-Qur’an harus dibedakan dengan teks-teks sastra pada umumnya, karena al-Qur’an memiliki kekhasan tersendiri. Meskipun demikian, ada catatan penting yang perlu diketahui karena bahasa al-Qur’an memiliki ’kekhasan’ sendiri. Bahasa al-Qur’an merupakan bahasa agama yang memiliki banyak istilah-istilah atau ungkapan-ungkapan metafisik, misalnya kata s|awa>b yang berarti pahala merupakan tanda dari sesuatu abstrak yang jauh dari pengetahuan fisik. Ungkapan-ungkapan dalam al-Qur’an yang sejenis dengan itu banyak ditemukan dan tidak memiliki acuan (referen). Barangkali inilah sesuatu yang ’khas’ menurut penulis. Selain itu, bahasa al-Qur’an bukan bahasa yang lahir dengan sendirinya, tapi juga berhubungan dengan kultur Arab saat ayat-ayat turun, sehingga bahasa al-Qur’an juga tidak bisa dilepaskan dari konteks budaya saat itu. Hal ini menunjukkan bahwa bahasa al-Qur’an memiliki signifikasi yang lebih kompleks dari pada bahasa-bahasa lain.
Sebagaimana kisah-kisah naratif dalam karya sastra, kisah-kisah sebagai bagian dari al-Qur’an merupakan sebuah struktur, yang merupakan unsur-unsur bersistem, dan antar sistem tersebut saling berhubungan timbal balik. Hal ini menunjukkan bahwa struktur kisah merupakan penanda tersendiri. Kisah-kisah dalam al-Qur’an menceritakan tentang peristiwa-peristiwa yang telah terjadi, baik tentang perjalanan para nabi dan rasul, umat-umat, cerita tentang penciptaan alam maupun yang lain. Kehadiran kisah-kisah tersebut memiliki faedah tersendiri, salah satunya adalah untuk menarik perhatian orang-orang atau masyarakat Arab ketika al-Qur’an diturunkan. Kisah-kisah itu sendiri memiliki pesan-pesan supaya dipahami oleh seorang qari’ yang membacanya. Dalam karya sastra, pesan-pesan tematik tersebut dapat diketahui melalui pola hubungan antar unsur yang terjalin. Oleh karena itu, untuk mengetahui konsep di balik kode dalam struktur kisah, persoalan hubungan unsur yang terjalin tidak bisa ditinggalkan.
Kisah Nabi Yusuf a.s. dalam Q.S. Yusuf menurut hemat penulis merupakan kisah yang menarik untuk dikaji dengan pendekatan semiotika. Kisah Nabi Yusuf a.s. dalam surat ini disajikan secara utuh mulai dari awal sampai akhir secara kronologis, tidak seperti kisah-kisah lain. Menurut penulis, kisah ini memiliki simbol-simbol kebahasaan yang menarik untuk dikaji dan memiliki banyak nilai-nilai filosofis yang menarik untuk diungkap. Salah satu contohnya adalah frase la> ta’manna>. Menurut tajwid frase tersebut harus dibaca isyma>m, yaitu dengan cara mencampurkan fath}ah dengan dhommah di dalam membaca gunnah nu>n tasydi>d. Cara membaca tersebut memberikan akibat dengan membuat gerakan moncong pada mulut lalu ditarik lagi dengan menempelkan gigi atas dan bawah sambil membentuk gerakan mulut seperti orang tersenyum.
C. Pembacaan Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf
Pembacaan terhadap kisah Yusuf ini akan dilakukan melalui tiga tahap, yaitu tahap pembacaan struktural, pembacaan heuristik, dan pembacaan retroaktif. Pembacaan struktural dilakukan dengan cara menganalisis setiap unsur yang membentuk sebuah cerita, lalu dianalisis hubungan masing-masing unsur tersebut. Pembacaan heuristik adalah pembacaan berdasarkan struktur kebahasaan atau pembacaan semiotik tingkat pertama. Pembacaan retroaktif adalah pembacaan ulang berdasarkan konvensi yang ada di dalam Q.S. Yusuf itu sendiri dengan memperhatikan struktur yang ada, baik struktur bahasa, cerita, dan totalitas struktur yang ada di luar cerita.
1. Pembacaan Struktural
Penulis menyadari tidak mungkin melakukan pembacaan secara keseluruhan cerita Nabi Yusuf yang ada dalam Q.S. Yusuf, maka pembacaan pun dibatasi mulai cerita mimpi Yusuf tentang sebelas bintang, matahari dan bulan yang bersujud padanya sampai kisah tragedi Yusuf dibuang oleh saudara-saudaranya, yaitu mulai ayat 3 sampai ayat 18. Secara kronologi kisah tersebut berawal dari Yusuf menceritakan perihal mimpinya tadi kepada ayahnya. Kemudian Ayah Yusuf melarangnya untuk menceritakan mimpi tersebut kepada saudaranya, karena khawatir saudara-saudaranya akan mencederainya. Cerita ini dilanjutkan dengan cerita saudara-saudara Yusuf yang merasa iri dengan perlakuan istimewa Ayah Yusuf terhadap dirinya dan saudaranya. Saudara-saudaranya pun berencana menyingkirkan Yusuf dari keluarganya. Ada yang mengusulkan agar Yusuf dibunuh, tapi adanya juga yang mengusulkan cukup dibuang ke dalam sumur saja.
Saudara-saudara Yusuf memohon izin kepada Ayahnya agar diberi izin untuk mengajak Yusuf berjalan-jalan. Pada mulanya Ayah Yusuf tidak percaya, tapi akhirnya percaya dan Yusuf kecil pun bisa dibawa. Kemudian Yusuf dijeburkan ke dalam sumur, dan Saudara-saudaranya kembali ke ayahnya dengan pura-pura menangis dan membawa baju Yusuf yang dilumuri dengan darah binatang, lalu mereka bilang Yusuf telah mati dimakan serigala.
Melihat penggalan cerita tersebut, bisa diketahui bahwa tema pokok yang diangkat adalah iri dan kedengkian saudara-saudara Yusuf. Plot yang ada pada penggalan cerita ini dibuat lurus, sehingga runtutan secara kronologi bisa dinikmati oleh pembaca. Paling tidak ada tiga tokoh sentral dalam cerita ini, yaitu Yusuf kecil, ayahnya, dan saudara-saudara. Ketiga tokoh ini saling berhubungan, sehingga membentuk cerita yang utuh. Tema iri dan kedengkian ini tidak akan pernah terungkap jika salah satu tokoh yang ada dihilangkan. Sebenarnya ada tokoh lain yang disebut dalam cerita ini, yaitu Bunyamin saudara kandung, tapi keberadaannya tidak terlalu penting, karena tidak memiliki pengaruh yang signifikan dalam cerita. Keberadaan sumur tempat dibuangnya Yusuf menjadi bukti kelicikan saudara-saudaranya. Tanpa keberadaan sumur itu, cerita kelicikan saudara-saudara Yusuf menjadi tidak berarti. Melihat beberapa peristiwa tersebut, paling tidak tiga karakter penokohan dalam cerita, tokoh yang licik, iri-dengki (saudara-saudara Yusuf), tokoh lugu (Yusuf Kecil), tokoh yang selalu dilanda rasa was-was (Ayah Yusuf). Semua unsur-unsur tersebut, meliputi tokoh dengan karakter masing-masing, sumur, alur cerita, rentetan peristiwa dan lainnya saling berhubungan membentuk kesatuan struktur yang menghasilkan tema iri dan kedengkian saudara-saudara Yusuf terhadapnya.
2. Pembacaan Heuristik
Dalam pembacaan heuristik ini, cerita dibaca berdasarkan struktur kebahasaannya. Untuk memperjelas arti bilamana perlu diberi sisipan kata atau sinonim kata-kata yang ditaruhkan dalam tanda kurung. Begitu juga, struktur kalimatnya disesuaikan dengan kalimat baku. Sebenarnya ini usaha yang mudah, karena cerita dituangkan dalam bentuk narasi bukan puisi.
Fragmen I
Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud (tunduk dan hormat) kepadaku.” Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagi manusia.”
Fragmen II
(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai (mendapat perlakuan istimewa) oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat karena merasa lebih tua). Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata (menurut persepsi mereka). Bunuhlah Yusuf atau buanglah Dia kesuatu daerah (yang tak dikenal) supaya perhatian ayahmu tertumpah kepadamu saja, dan sesudah itu hendaklah kamu menjadi orang-orang yang baik (dengan cara bertaubat). Seorang diantara mereka berkata: “Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah Dia ke dasar sumur supaya Dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.”
Fragmen III
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya (berusaha meyakinkan). Biarkanlah Dia pergi bersama Kami besok pagi, agar Dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya Kami pasti menjaganya.” (Karena Khawatir) Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala (serigala nyata), sedang kamu lengah dari padanya.”
Mereka berkata: “Jika ia benar-benar dimakan serigala, sedang Kami golongan (yang kuat), Sesungguhnya Kami kalau demikian adalah orang-orang yang merugi (berpura-pura merasa rugi).”
Fragmen IV
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil (pura-pura) menangis. (Untuk meyakinkan) Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, Sesungguhnya Kami pergi berlomba-lomba dan Kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang Kami, lalu Dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku), dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
3. Pembacaan Retroaktif
Pembacaan retroaktif ini dilakukan berdasarkan konvensi-konvensi sastra menurut sistem semiotik tingkat kedua. Hal ini berarti pembacaan kisah Yusuf ini dilakukan berdasarkan konvensi-konvensi yang ada dalam Q.S. Yusuf. Dengan meminjam bahasa Nasr Hamid Abu Zaid, konvensi ini meliputi konvensi linguistik maupun non linguistik. Konvensi linguistik berupa konvensi yang berasal dari struktur kebahasaan, sedangkan konvensi linguistik berupa struktur yang berada di luar struktur kebahasaan itu sendiri, seperti struktur kisah itu sendiri, riwayat-riwayat, asbab al-nuzul, pembaca dan lainnya yang merupakan bangunan sistem lebih luas.
Fragmen I
Ketika Yusuf berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Sesungguhnya aku bermimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan; kulihat semuanya sujud (tunduk dan hormat) kepadaku.”
              
Mimpi melihat sebelas bintang, matahari dan bulan memunculkan pertanyaan, benarkah mimpi tersebut hanya sebatas melihat sebelas bintang, matahari dan bulan tersebut. Pada semiotik tingkat pertama mungkin makna yang diperoleh hanya sebatas itu, tapi untuk tingkat semiotik tingkat kedua tampaknya memiliki makna yang lain. Keberadaan bilangan sebelas pada ayat tersebut merupakan penanda sebagai simbol tentang jumlah sebelas saudara Yusuf yang iri kepadanya dan saudara kandungnya Bunyamin.
Ayahnya berkata: “Hai anakku, janganlah kamu ceritakan mimpimu itu kepada saudara-saudaramu, Maka mereka membuat makar (untuk membinasakan) mu.
          
Larangan Ayah Yusuf untuk menceritakan mimpi tersebut merupakan bentuk kekhawatirannya, karena dari ayat ini Ayah Yusuf sebenarnya sudah memiliki prediksi bahwa akan terjadi tipu daya buruk terhadap Yusuf sendiri. Hal ini benar-benar terbukti pada cerita pada fragmen II berikutnya.
Fragmen II
”(Yaitu) ketika mereka berkata: “Sesungguhnya Yusuf dan saudara kandungnya (Bunyamin) lebih dicintai oleh ayah kita dari pada kita sendiri, Padahal kita (ini) adalah satu golongan (yang kuat karena merasa lebih tua).” Kata ah}abbu ila> abi>na> minna> merupakan penanda bahwa terjadi ke’iri’an dan kedengkian saudara-saudara Yusuf terhadap dirinya. Hal ini menunjukkan adanya perlakuan istimewa terhadap Yusuf dan Bunyamin sehingga menimbulkan rasa iri dan dengki, yang akhirnya kesebelas saudara Yusuf tersebut berencana untuk membunuh Yusus. Ketidakadilan Ayah Yusuf dalam memberikan kasih sayang digambarkan dengan ayat, ”Sesungguhnya ayah kita adalah dalam kekeliruan yang nyata”.
Fragmen III
Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, apa sebabnya kamu tidak mempercayai Kami terhadap Yusuf, Padahal Sesungguhnya Kami adalah orang-orang yang mengingini kebaikan baginya (berusaha meyakinkan). Biarkanlah Dia pergi bersama Kami besok pagi, agar Dia (dapat) bersenang-senang dan (dapat) bermain-main, dan Sesungguhnya Kami pasti menjaganya.”
     •     
Penggalan ayat ini menunjukkan adanya usaha para saudara Yusuf untuk memulai skenario mereka, maka Ayah Yusuf tidak mempercayai permintaan izin tersebut. Ada satu frase yang menarik untuk diteliti pada ayat ini, yaitu frase la> ta’manna> . Menurut tajwid frase tersebut harus dibaca isymam, yaitu dengan cara mencampurkan fathah dengan dhommah di dalam membaca ghunnah nun tasydid. Cara membaca tersebut memberikan akibat dengan membuat gerakan moncong pada mulut lalu ditarik lagi dengan menempelkan gigi atas dan bawah sambil membentuk gerakan mulut seperti orang tersenyum. Melihat kasus tersebut, frase la> ta’manna yang berasal dari la> ta’manu>na merupakan penanda yang menunjukkan ada unsur kebohongan ucapan saudara-saudara Yusuf. Hal inilah yang menyebabkan Ya’qub tidak percaya dengan mereka yang diekpresikan dengan ayat, Berkata Ya’qub: “Sesungguhnya kepergian kamu bersama Yusuf Amat menyedihkanku dan aku khawatir kalau-kalau Dia dimakan serigala (serigala nyata), sedang kamu lengah dari padanya.” Kata al-zi’bu (serigala) sebenarnya tidak hanya terbatas pada arti serigala nyata sebagai hewan buas pemakan daging, tetapi merupakan sebuah penanda bahwa kebuasan saudara-saudara Yusuf tersebut digambarkan dengan bahasa metafora al-zi’bu.
Fragmen IV
Maka tatkala mereka membawanya dan sepakat memasukkannya ke dasar sumur (lalu mereka masukkan dia), dan (di waktu Dia sudah dalam sumur) Kami wahyukan kepada Yusuf: “Sesungguhnya kamu akan menceritakan kepada mereka perbuatan mereka ini, sedang mereka tiada ingat lagi.” Kemudian mereka datang kepada ayah mereka di sore hari sambil (pura-pura) menangis. (Untuk meyakinkan) Mereka berkata: “Wahai ayah Kami, Sesungguhnya Kami pergi berlomba-lomba dan Kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang Kami, lalu Dia dimakan serigala; dan kamu sekali-kali tidak akan percaya kepada Kami, Sekalipun Kami adalah orang-orang yang benar.” Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya’qub berkata: “Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku, dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.”
Fragmen IV ini merupakan jawaban dari kekhawatiran Ya’qub bahwa mimpi Yusuf benar-benar terjadi. Kebohongan yang dilakukan oleh saudara-saudara Yusuf yang sudah terdapat indikator pada fragmen sebelumnya juga terbukti pada fragmen ini.
D. Kesimpulan
Kisah merupakan sebuah struktur yang terjalin setelah terjadi hubungan timbal balik antar unsur-unsur. Kesatuan unsur-unsur tersebut secara struktural memiliki makna, sehingga fragmen-fragmen tersebut membawa tema tentang skenario kelicikan saudara-saudara Yusuf yang berangkat dari iri dan kedengkian mereka terhadapnya.
Kisah Yusuf dalam Q.S. Yusuf ini dianalisis melalui tiga tahap, yaitu pembacaan struktural, pembacaan heuristik, dan pembacaan retroaktif. Pembacaan struktural dan heuristik menghasilkan pemahaman hanya sebatas makna semiotik tingkat pertama. Dalam hal ini, meaning yang diperoleh hanya terbatas pada permukaan struktur cerita dan bahasa, misal makna sebelas bintang, matahari, dan bulan masih masih dimaknai sebelas bintang, matahari, dan bulan sebagaimana dalam kehidupan nyata. Pembacaan retroaktif menghasilkan makna semiotik tingkat kedua, seperti serigala diartikan sebagai saudara-saudara Yusuf yang buas seperti serigala, dan jumlah bilangan sebelas dalam mimpi Yusuf diartikan sebagai jumlah bilangan saudara-saudara Yusuf yang melakukan tipu muslihat sebanyak sebelas orang.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan, Teori Pengkajian Fiksi, UGM Press, Yogyakarta, 2002.
Jabrohim, et.al., Metodologi Penelitian Sastra, Hanindita, Yogyakarta, 2002.
Pradopo, Rahmat Djoko, Pengkajian Puisi, UGM Press, Yogyakarta, 2007.
Al-Mah}alli>, Jala>l al-Di>n Muh}ammad ibn Ah}mad, dan Jala>l al-Di>n ‘Abd’ al-Rah>ma>n ibn Abi> Bakr al-Suyu>t}i>, Tafsi>r Al-Qur’a>n Al-Kari>m li al-Ima>m al-Jalailain, Al-Alawiyah, Semarang, t.th..
Al-Nuh}a>s, Abi> Ja’far Ah}mad ibn Muh}ammad ibn Ismail ibn, I’rab al-Qur’a>n, Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, 2004.
Birri, Maftuh bin Basthul, Standar Tajwid, Kediri: Madrasah Murottil Qur’an PP Lirboyo, 2000.
Bathes, Roland, Petualangan Semiologi, penj. Stephanus Aswar Herwinarko, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2007.

2 komentar:

  1. analisisnya bagus dan menarik, tapi ini nampaknya masih sekedar pengantar atau pembuka yang belum terlalu spesifik. pembacaan dengan ketiga metode tersebut telah menunjukkan bagaimana qur'an yaitu surah yusuf dapat diungkap dengan tetap berada dalam sendi-sendi tafsir klasik, bahkan justru ini menunjukkan bila di dalam surah yusuf atau qur'an sebenarnya terdapat tradisi pembacaan dengan ketiga metode tersebut. faktanya pembacaan dengan ketiga metode itu tidak merubah pembacaan dalam tafsir klasik, tetapi apakah dapat juga diungkapkan segi-segi terapan yang lebih teknologis atas surat tersebut dengan metode yang sama, sehingga ia lebih memiliki kesan yang membumi dan nampak perkembangannya dalam budaya manusia?

    BalasHapus
  2. Ini artikel bagus, saya mengapresiasinya. Saat ini saya sedang mempelajari strukturalisme al-Quran.

    BalasHapus