Senin, 21 Oktober 2013

Studi Kitab Hadis


A. Biografi Imam Nawawi
Nama lengkap Imam Nawawi adalah Yahya bin Syaraf bin Hasan bin Husain An-Nawawi Ad-Dimasyqiy, Abu Zakaria. Beliau dilahirkan pada bulan Muharram tahun 631 H di Nawa, sebuah kampung di daerah Dimasyq (Damascus) yang sekarang merupakan ibukota Suriah. Beliau dididik oleh ayah beliau yang terkenal dengan kesalehan dan ketakwaan. Beliau mulai belajar di katatib (tempat belajar baca tulis untuk anak-anak) dan hafal Al-Quran sebelum menginjak usia baligh.
An-Nawawi tinggal di Nawa hingga berusia 18 tahun. Kemudian pada tahun 649 H ia memulai rihlah thalabul ilmi-nya ke Dimasyq dengan menghadiri halaqah-halaqah ilmiah yang diadakan oleh para ulama kota tersebut. Ia tinggal di madrasah Ar-rawahiyyah di dekat Al-Jami’ Al-Umawiy. Jadilah thalabul ilmi sebagai kesibukannya yang utama. Disebutkan bahwa ia menghadiri dua belas halaqah dalam sehari. Ia rajin sekali dan menghafal banyak hal. Ia pun mengungguli teman-temannya yang lain. Ia berkata: “Dan aku menulis segala yang berhubungan dengannya, baik penjelasan kalimat yang sulit maupun pemberian harakat pada kata-kata. Dan Allah telah memberikan barakah dalam waktuku.” [Syadzaratudz Dzahab 5/355].
Imam An-Nawawi adalah seorang yang zuhud, wara’ dan bertaqwa. Beliau sederhana, qana’ah dan berwibawa. Beliau menggunakan banyak waktu beliau dalam ketaatan. Sering tidak tidur malam untuk ibadah atau menulis. Beliau juga menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, termasuk kepada para penguasa, dengan cara yang telah digariskan Islam.
Semasa hidupnya Imam Nawawi belajar pada guru-guru yang amat terkenal seperti Abdul Aziz bin Muhammad Al-Ashari, Zainuddin bin Abdud Daim, Imaduddin bin Abdul Karim Al-Harastani, Zainuddin Abul Baqa, Khalid bin Yusuf Al-Maqdisi An-Nabalusi dan Jamaluddin Ibn Ash-Shairafi, Taqiyuddin bin Abul Yusri, Syamsuddin bin Abu Umar. Dia belajar fiqih hadits (pemahaman hadits) pada asy-Syaikh al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa Al-Muradi Al-Andalusi. Kemudian belajar fiqh pada Al-Kamal Ishaq bin Ahmad bin usman Al-Maghribi Al-Maqdisi, Syamsuddin Abdurrahman bin Nuh dan Izzuddin Al-Arbili serta guru-guru lainnya.
Tidak sedikit ulama yang datang untuk belajar ke Iman Nawawi. Di antara mereka adalah al-Khatib Shadruddin Sulaiman al-Ja’fari, Syihabuddin al-Arbadi, Shihabuddin bin Ja’wan, Alauddin al-Athar dan yang meriwayatkan hadits darinya Ibnu Abil Fath, Al-Mazi dan lainnya.
Imam Nawawi meninggal pada 24 Rajab 676 H -rahimahullah wa ghafara lahu.
Adapun karya-karya Imam Nawawi antara lain:
1. Raudhah ath-Thalibin, ringkasan asy-Syarh al-Kabir karya Imam Rafi’i. Kitab Raudhah ath-Thalibin ini disusun oleh Imam Nawawi selama tiga tahun (666-669 H)
2. Syarah Shahih Muslim yang ia beri nama al-Minhaj.
3. Syarah al-Muhadzdzab yang ia beri nama al-Majmu’.
4. Minhaj ath-Thalibin, ringkasan kitab al-Muharrar karya Imam Rafi’i.
B. Metode
Metode yang digunakan Imam Nawawi dalam menyusun kitab syarah ini adalah dengan menggunakan metode muqaran yakni dalam mensyarahi hadist beliau berusaha untuk menjelaskan dengan gamblang berbagai permasalahan yang terkandung dalam sebuah redaksi hadis, dengan memaparkan beberapa versi dalil yang berkaitan erat dengan permasalahan tersebut, kecuali pada tempat-tempat yang memang tidak mungkin dipergunakan untuk membicarakan dalil-dalil tersebut secara panjang lebar. Namun, di luar itu semua beliau berusaha untuk mengemas penjelasan yang dimaksud dengan ungkapan yang lugas, padat, namun jelas. Dan juga membubuhkan keterangan tentang tata baca nama para perawi, cara baca beberapa lafadz dan kedudukannya dan kedudukannya dalam konteks tata bahasa Arab.
C. Sistematika Penulisan
Syarah Imam nawawi menyusun kitab ini dengan menggunakan penjelasan yang tidak terlalu ringkas dan juga tidak terlalu panjang. Kitab ini berisi tentang berbagai ilmu pengetahuan yang penting, baik itu berbentuk hukum, cabang-cabang hukum, etika, isyarat-isyarat yang penting dan pokok kaedah-kaedah syari’at. Selain itu beliau juga menjelaskan tantang penjelasan lafadz, nama periwayat, nama personal yang memiliki kunyah, nama orang tuanya, nama-nama yang masih samar statusnya dan kondisi para periwayat yang belum begitu jelas. kandungan hadis yang ada dalam matan, sanad, menyebutkan nama-nama periwayat yang mu’talaf-mukhtalaf, dan cara mengkompromikan beberapa hadis yang redaksi luarnya terlihat bertentangan.
Kitab syarah imam muslim ini terdiri dari 9 jilid dengan 18 juz. Dalam mensyarah hadis Imam Nawawi langsung kepada syarah hadis serta membubuhkan beberapa dalil yang berkaitan dengan permasalahan dalam hadis tersebut.
Sistematika yang digunakan Imam Nawawi dalam menyusun kitab ini adalah berdasarkan bab yang terdapat dalam Shahih Muslim. Hanya saja terdapat muqaddimah Imam Nawawi sendiri.
D. Contoh
Amr bin Muhammad bin Bukair An Naqid menceritakan kepadaku, Hasyim bin Al Qasim Abu An Nadhr menceritakan kepada kami, Sulaiman bin Al Mughirah menceritakan kepada kami, dari Tsabit dari Anas bin Malik dia berkata, “Kami dilarang untuk bertanya tentang sesuatu keada rasulullah . Tentu Saja kami merasa sangat heran ketika ada seorang laki-laki dari penduduk dusun yang dating menjumpai Rasulullah-dia adalah seorang dusun yang cakap (tidak bodoh) dan mengajukan pertanyaan kepada Rasululah sedangkan kami semua mendengarkannya. Lelaki itu berkata, “Wahai Muhammad, telah dating kepada kami utusanmu. Dia mengatakan kepada kami bahwa Allah telah mengutusmu.” Rasulullah bersabda,” Dia (orang utusanku) telah berkata benar.” Orang dusun itu kembali berkata, Siapakah yang telah menciptakan langit? Rasulullah menjawab, “Allah”. Lelaki dusun itu bertanya lagi, Siapakah yang menciptakan bumi? Rasulullah menjawab, Allah. Lelakiitu berkata, siapakah yang menancapkan gunung-gunung yang menulang tinggi ini dan telah menjadikan apa yang ada di dalamnya? Rasulullah bersabda, Allah.
Lelaki itu berkata, Demi Dzat Yang telah menciptakan langit, bumi, dan menjadikan gunung-gunung menjulang tinggi, apakah Allah yang telah mengutusmu? Rasulullah bersabda, Benar. Lelaki
Hadis ini menjelaskan bahwa kalimah kami dilarang untuk bertanya maksudnya adalah larangan bertanya sesuatu yang tidak penting dan dibutuhkan sebagaimana yang telah disebutkan dalam hadis lain, (bertanyalah kalian kepadaku) yakni tentang hal-hal yang kalian perlukan.
Laki-laki dari dusun maksudnya orang yang tidak sempat mendengar larangan Rasulullah tersebut. dikatakan cerdas, karena dia tahu bagaimana etika bertanya, prioritas yang akan ditanyakan dan cara bertanya dengan baik meskipun dia orang dusun.
Dia berkata: Wahai Muhammad. Menurut ulama, mungkin saja pada waktu itu belum ada larangan memanggil Rasulullah dengan nama beliau.
Dalam redaksi hadis di atas kata za’ama dan taz’umu dipergunakan bersama-sama dengan kalimat yang membenarkan misi kerasulan Rasulullah, maka dapat diketahui bahwa kata za’ama tidak khusus untuk ungkapan yang mengandung unsure kebohongan atau sesuatu yang masih meragukan. Kata ini juga dipergunakan untuk perkataan yang bersifat pasti dan tidak mengandung unsure keraguan. Banyak sekali hadis yang menggunakan kata za’ama bukan untuk sesuatu yang mengandung keraguan.
Imam Nawawi menjelaskan bahwa nama laki-laki yang datang dari dusun itu adalah Dhimam bin Tsa’labah.
Menurut Imam Nawawi, pertanyaan yang disampaikan oleh lelaki dusun itu sangat sistematis dan penuh etika. Pertama –tama dia bertanya tentang siapa pencipta semua makhluk. Kemudian lelaki itu juga bersumpah bahwa Rasulullah adalah utusan Sang Pencipta. Bahkan setelah itu dia juga membenarkan ajaran yang beliau bawa. Tentu saja ungkapan sistematis seperti ini tidak akan mampu terlontar kecuali dari seorang yang memiliki pikiran tajam dan cerdas. Sedangkan menurut Qadhi Iyadh, lelaki dusun tersebut datang menjumpai Rasulullah untuk semakin memperkuat keyakinan agama yang telah dia terima dan juga untuk bertatap muka dengan Nabi secara langsung.
Imam Nawawi juga menjelaskan bahwa di antara pelajaran lain yang bisa diambil dalam hadis tersebut adalah shalat lima waktu terus berlaku dalam sehari semalam dan puasa bulan ramadhan yang wajib dikerjakan setiap setahun sekali. Syaikh Abu Amr bin Ash Shalah berkata, Hadits ini menjadi bukti bahwa pendapat yang selama ini diikuti para Imam adalah sesuatu yang benar. Pendapat yang dimaksud bahwa orang-orang awam yang hanya berstatus taqlid (mengikuti ajaran agama tanpa mengetahui dalilnya) tetap dianggap sebagai orang-orang mukmin. Keimanan mereka sudah dianggap cukup dengan hanya meyakini keberadaan Allah yang tanpa disertai keraguan. Berbeda dengan orang-orang yang tidak sepakat dengan pendapat ini , yakni kaum mu’tazilah. Padahal dalam hadis itu Rasulullah jelas-jelas telah membenarkan pengakuan status mukminnya Dhimam-sang lelaki dusun yang telah mengakui risalah yang disampaikan beliau, dimana dalam hal ini Dhimam masih seorang muslim yang taqlid. Dalam hadis ini juga terkandung pengertian bahwa hadis ahad bisa diamalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar